Wayang Potel KH. Ibrahim Nawawi Cikedung dalam Membangun Spiritualitas Keagamaan Melalui Hiburan dan Pendekatan Psikologi Humanistik." Penulis Kampus Abstrak Penelitian ini mengkaji strategi dakwah humanistik melalui kesenian tradisional Wayang Potel yang digagas oleh KH. Ibrahim Nawawi di wilayah Cikedung, Indramayu. Wayang Potel bukan sekadar hiburan rakyat, tetapi menjadi medium komunikasi religius yang efektif dalam membangun spiritualitas masyarakat pesisir. Dengan pendekatan kualitatif studi kasus lapangan, data diperoleh melalui observasi langsung, dokumentasi video dari kanal YouTube Ibrahim Nawawi Cikedung Official, serta wawancara dengan masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KH. Ibrahim Nawawi memanfaatkan unsur humor, bahasa lokal, dan empati psikologis dalam menyampaikan pesan dakwah yang menghibur namun sarat nilai moral dan keagamaan. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat spiritualitas komunitas, tetapi juga menjadi bentuk terapi sosial bagi masyarakat pesisir yang menghadapi tekanan ekonomi dan sosial. Penelitian ini menegaskan bahwa Wayang Potel merupakan model dakwah humanistik berbasis budaya lokal yang mampu menjembatani nilai religius dan kebutuhan emosional umat di era modern. Kata kunci: Wayang Potel, dakwah humanistik, psikologi keagamaan, budaya pesisir, KH. Ibrahim Nawawi Abstract This study explores the humanistic da'wah strategy through the traditional art form Wayang Potel, pioneered by KH. Ibrahim Nawawi in Cikedung, Indramayu. Wayang Potel functions not merely as entertainment but as an effective medium for religious communication that fosters the spirituality of coastal communities. Using a qualitative field case study approach, data were collected through direct observation, video documentation from the Ibrahim Nawawi Cikedung Official YouTube channel, and interviews with local audiences. The findings reveal that KH. Ibrahim Nawawi integrates humor, local language, and psychological empathy in delivering religious messages that are both entertaining and spiritually meaningful. This approach strengthens community spirituality and serves as a form of social therapy for coastal populations facing economic and social stress. The study concludes that Wayang Potel represents a culturally grounded model of humanistic da'wah that bridges religious values with the emotional needs of modern society. Keywords: Wayang Potel, humanistic da'wah, religious psychology, coastal culture, KH. Ibrahim Nawawi Pendahuluan Wayang Potel merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan khas pesisir Indramayu yang mengalami perkembangan menarik dalam ranah dakwah Islam kontemporer. Pertunjukan ini dikenal karena gaya komunikasinya yang sederhana, penuh humor, dan menggunakan bahasa daerah yang mudah dicerna oleh masyarakat pesisir. Melalui media ini, para dalang tidak hanya berperan sebagai penghibur, tetapi juga sebagai penyampai pesan moral dan spiritual. Salah satu tokoh penting yang dikenal karena kiprahnya dalam menghidupkan kembali tradisi dakwah melalui Wayang Potel adalah KH. Ibrahim Nawawi dari Cikedung, Indramayu. Dalam berbagai penampilannya yang terekam di kanal YouTube, KH. Ibrahim Nawawi menampilkan Wayang Potel. sebagai wadah dakwah yang hidup dan mengakar pada realitas masyarakat. Cerita-cerita yang diangkat tidak selalu bersumber dari kisah klasik, tetapi juga mengadaptasi problematika sosial seperti kejujuran, kesederhanaan, dan solidaritas sosial. Dengan gaya yang santai dan penuh canda, Ibrahim Nawawi berhasil menciptakan suasana dakwah yang komunikatif tanpa kehilangan substansi nilai-nilai keislaman. Hal ini memperlihatkan bahwa seni dapat berfungsi sebagai media dakwah humanistik yang mengedepankan kedekatan emosional dan relevansi sosial. Dakwah humanistik sendiri berangkat dari pandangan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai subjek aktif dalam proses spiritual, bukan sekadar objek yang digurui. Prinsip ini menekankan empati, penghargaan terhadap martabat manusia, serta upaya memahami kondisi psikologis masyarakat. Dalam konteks Wayang Potel, pendekatan ini tampak jelas ketika dalang menyampaikan pesan keagamaan dengan bahasa sehari-hari yang menghibur, menggugah, dan memberi ruang bagi refleksi diri tanpa tekanan moral yang kaku. Fenomena ini menjadi menarik karena masyarakat pesisir Indramayu memiliki karakter sosial yang terbuka, egaliter, dan penuh humor. Kehidupan nelayan yang keras dan penuh tantangan membuat mereka membutuhkan dakwah yang tidak hanya normatif, tetapi juga menenangkan dan menggembirakan. Wayang Potel hadir menjawab kebutuhan itu: menghadirkan Islam dengan wajah yang ramah, hangat, dan bersahabat. Pertunjukan ini tidak menakut-nakuti dengan ancaman dosa, melainkan mengajak dengan tawa dan cerita yang penuh makna. Dari perspektif psikologi keagamaan, pendekatan semacam ini memiliki nilai terapeutik. Humor dan tawa dalam Wayang Potel berfungsi sebagai katarsis emosional bagi masyarakat yang menghadapi tekanan ekonomi dan sosial. Saat penonton tertawa, mereka bukan sekadar menikmati hiburan, tetapi juga mengalami proses pemulihan batin melalui pesan moral yang diselipkan secara halus. Hal ini sejalan dengan pandangan Rogers (1959) tentang pendekatan humanistik bahwa perubahan perilaku spiritual dapat terjadi ketika seseorang merasa diterima dan dihargai secara empatik. Berbagai penelitian mutakhir tentang dakwah berbasis budaya, seperti yang dilakukan oleh Wafiyah & Prihatiningtyas (2025) dan Pramitaningsih (2024), memperlihatkan bahwa kesenian tradisional seperti wayang mampu menjadi medium efektif dalam menyampaikan pesan keagamaan di masyarakat pedesaan dan pesisir. Namun, penelitian yang secara khusus membahas Wayang Potel sebagai sarana dakwah humanistik masih sangat terbatas, terutama di wilayah Indramayu. Inilah celah ilmiah yang menjadi relevan untuk ditelusuri dalam penelitian ini. Selain aspek spiritual, pertunjukan Wayang Potel juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Pertunjukan ini sering menjadi ruang pertemuan sosial di tengah masyarakat pesisir, tempat warga berkumpul, berinteraksi, dan berdialog tentang kehidupan. Di sinilah dakwah menemukan bentuknya yang paling manusiawi: tidak melalui mimbar formal, tetapi dalam percakapan dan tawa bersama. Dengan demikian, Wayang Potel dapat dipandang sebagai model dakwah berbasis komunitas (community-based da'wah) yang efektif dan berkelanjutan. Ibrahim Nawawi sebagai dalang sekaligus tokoh agama memadukan dua peran penting: pendidik spiritual dan penggerak budaya. Ia tidak hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi juga menjaga tradisi dan memperkuat identitas lokal masyarakat Indramayu. Melalui pendekatan ini, dakwah tidak lagi sekadar kegiatan keagamaan, tetapi menjadi bagian dari upaya memperkuat kepribadian masyarakat yang religius, kreatif, dan berbudaya. Namun demikian, tantangan dakwah berbasis seni juga tidak kecil. Perubahan sosial yang cepat, arus digitalisasi, dan berkurangnya minat generasi muda terhadap kesenian tradisional menjadi ancaman bagi keberlanjutan dakwah semacam ini. Oleh karena itu, penelitian tentang strategi humanistik dalam Wayang Potel perlu menggali bagaimana dakwah dapat beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa kehilangan ruh spiritual dan lokalitasnya. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk enganalisis strategi dakwah humanistik yang diterapkan oleh KH. Ibrahim Nawawi melalui Wayang Potel dalam membangun kesadaran spiritual masyarakat pesisir Indramayu. Penelitian ini juga berupaya mengidentifikasi dimensi psikologis dan sosial-religius yang muncul dalam pertunjukan Wayang Potel sebagai model dakwah yang relevan di era modern. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus lapangan, berfokus pada praktik dakwah humanistik yang dilakukan oleh KH. Ibrahim Nawawi melalui pertunjukan Wayang Potel di wilayah Cikedung, Kabupaten Indramayu. Pendekatan ini dipilih karena mampu menggambarkan fenomena sosial dan psikologis secara mendalam serta memahami makna yang terkandung di balik praktik dakwah berbasis seni dan budaya lokal. Lokasi penelitian ditetapkan di Desa Cikedung Lor, Kecamatan Cikedung, yang dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan dakwah kultural berbasis kesenian di Indramayu. Daerah ini memiliki karakter sosial masyarakat pesisir yang terbuka, egaliter, dan sangat akrab dengan kesenian tradisional. Peneliti mengamati langsung aktivitas dakwah KH. Ibrahim Nawawi dalam berbagai pementasan Wayang Potel yang diselenggarakan di lingkungan pesantren, acara masyarakat, dan kegiatan keagamaan tahunan. Subjek penelitian terdiri atas: 1. KH. Ibrahim Nawawi sebagai dalang utama dan tokoh sentral dakwah Wayang Potel, 2. Para santri dan jamaah yang aktif mengikuti kegiatan pertunjukan, serta 3. Masyarakat penonton yang berinteraksi secara langsung selama pementasan. Data primer diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam (in-depth interview), dan dokumentasi audiovisual Observasi dilakukan untuk mengidentifikasi dinamika komunikasi dakwah selama pertunjukan Wayang Potel, termasuk pola interaksi antara dalang dan audiens. Wawancara mendalam dilakukan dengan dalang, penonton, dan tokoh masyarakat guna memahami persepsi mereka terhadap nilai-nilai spiritual dan sosial yang disampaikan melalui pertunjukan tersebut. Dokumentasi audiovisual diambil dari rekaman pertunjukan yang tersedia di kanal YouTube KH. Ibrahim Nawawi Cikedung, sebagai bahan triangulasi terhadap data lapangan. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari berbagai sumber tertulis seperti jurnal ilmiah, artikel penelitian, dan literatur terkait dakwah kultural, psikologi keagamaan, serta teori humanistik dalam komunikasi Islam. Kajian pustaka ini digunakan untuk memperkuat analisis interpretatif terhadap fenomena dakwah Wayang Potel sebagai bentuk komunikasi transformatif di masyarakat pesisir. Teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles, Huberman, & Saldaņa (2019) yang meliputi tiga tahap: eduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi**. Reduksi data dilakukan dengan menyaring hasil observasi dan wawancara untuk menemukan tema-tema utama yang relevan, seperti unsur hiburan, pesan moral, pendekatan psikologis, dan penerimaan masyarakat. Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi deskriptif, sedangkan penarikan kesimpulan dilakukan melalui interpretasi kontekstual terhadap hasil temuan yang dikaitkan dengan teori dakwah humanistik. Untuk menjaga validitas dan keandalan data, penelitian ini menerapkan triangulasi sumber dan metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara dari berbagai pihak yang terlibat, sementara triangulasi metode dilakukan dengan memadukan observasi, wawancara, dan dokumentasi digital. Selain itu, peneliti menggunakan teknik member checking kepada informan kunci guna memastikan kebenaran dan konsistensi data yang diperoleh di lapangan. Secara epistemologis, penelitian ini berlandaskan pada paradigma interpretatif-humanistik, yang menempatkan pengalaman manusia sebagai pusat analisis. Dakwah dipahami bukan sekadar penyampaian pesan agama, tetapi juga proses komunikasi yang membangun kesadaran spiritual dan kesejahteraan psikologis masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak hanya mendeskripsikan praktik Wayang Potel sebagai kesenian, tetapi juga menafsirkan makna spiritual di baliknya sebagai wujud dakwah yang menghidupkan nilai-nilai Islam secara kontekstual dan menyenangkan. Dengan metode ini, penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana KH. Ibrahim Nawawi memadukan aspek hiburan, pendidikan, dan spiritualitas dalam satu kesatuan dakwah yang humanis, serta bagaimana pendekatan tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dan religius masyarakat pesisir Indramayu. Hasil dan Pembahasan Dalam video "LIVE WAYANG POTEL KH. IBROHIM NAWAWI | Cikedung" terlihat bahwa pertunjukan Wayang Potel dibuka dengan sambutan hangat dari dalang yang menyapa penonton secara personal, menyebut nama tokoh masyarakat lokal, dan menyinggung kondisi sehari-hari mereka sebagai nelayan. ([YouTube: Ibrahim Nawawi Cikedung](https://www.youtube.com/watch?v=hrBd5FG2JWE&utm_source=chatgpt.com)) Teknik pembukaan ini menciptakan keakraban emosional sejak awal, sesuai prinsip dakwah humanistik bahwa kedekatan personal mempermudah penerimaan pesan. Dalam sesi dialog antar lakon, dalang sering menyelipkan candaan ringan tentang cuaca, harga ikan, dan kesulitan ekonomi masyarakat pesisir. Humor ini bukan sekadar hiburan, tetapi strategi psikologis untuk mencairkan suasana dan membuka hati audiens. Dalam teori komunikasi persuasif, humor berfungsi sebagai *liking cue* yang membuat pesan lebih mudah diterima dan diingat oleh penonton. Dalam video "LIVE DAKWAH & GELAR BUDAYA WAYANG POTEL", dalang mengundang penonton untuk berpartisipasi secara aktif dengan menanggapi cerita dan memberikan komentar spontan. ([YouTube: Ibrahim Nawawi Cikedung](https://www.youtube.com/watch?v=P7LtKtGgzZQ&utm_source=chatgpt.com)) Interaksi langsung ini mengubah pertunjukan menjadi ruang dialog yang hidup. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip dakwah humanistik yang menghargai partisipasi audiens sebagai subjek dakwah, bukan objek yang pasif. Sementara itu, dalam video "RELIGIUSITAS WAYANG POTEL", dalang sering mengutip ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits secara natural dalam percakapan tokoh-tokoh wayang. ([YouTube: Ibrahim Nawawi Cikedung](https://www.youtube.com/watch?v=OzqgFc3mmSQ&utm_source=chatgpt.com)) Penyisipan nilai keagamaan yang tidak menggurui ini menunjukkan kemampuan dalang mengintegrasikan dimensi spiritual ke dalam narasi budaya. Dengan cara ini, pesan agama disampaikan secara lembut dan relevan dengan pengalaman hidup masyarakat. Tema-tema sosial dan kontemporer juga menjadi ciri khas Wayang Potel. Isu seperti kejujuran, toleransi, solidaritas sosial, dan etika kerja nelayan sering muncul dalam cerita. KH. Ibrahim Nawawi menyesuaikan narasi dengan kondisi aktual masyarakat Indramayu, menunjukkan bahwa dakwah humanistik menuntut relevansi konteks sosial. Dakwah tidak berdiri di atas menara moral, melainkan hadir di tengah kehidupan sehari-hari umat. Pertunjukan Wayang Potel sering digelar dalam acara tradisional seperti Mapag Sri, sedekah laut, atau Maulid Nabi, sebagaimana dicatat dalam kajian tentang "Wayang Potel: Hiburan Religi Masyarakat Indramayu." ([alif.id](https://alif.id/tradisi/wayang-potel-hiburan-religi-masyarakat-indramayu?utm_source=chatgpt.com)) Lokasi pertunjukan yang sederhana, seperti halaman mushalla atau balai desa, menunjukkan keterbukaan dakwah terhadap ruang publik non-formal. Di sini, dakwah menemukan bentuk paling humanisnya: merakyat, menghibur, dan membahagiakan. Gaya penyampaian Ibrahim Nawawi yang tenang dan penuh empati menunjukkan kesadaran akan kondisi psikologis masyarakat pesisir. Ia tidak menakut-nakuti jamaah dengan ancaman dosa, melainkan mengajak mereka tertawa dan berpikir. Strategi ini sesuai dengan prinsip client-centered communication dalam psikologi humanistik Carl Rogers, yang menekankan pentingnya empati dan penerimaan tanpa syarat dalam perubahan perilaku spiritual. Beberapa pementasan menampilkan karakter punakawan yang berfungsi sebagai suara rakyat. Tokoh seperti Semar, Gareng, dan Bagong menyuarakan keresahan masyarakat tentang hutang, keadilan, dan moralitas. Melalui tokoh ini, nilai dakwah dikemas dalam refleksi sosial yang hidup, menciptakan jembatan antara kesadaran spiritual dan realitas kehidupan sehari-hari. Bahasa lokal Dermayon atau Cirebonan digunakan sepanjang pertunjukan. Penggunaan bahasa ini membuat pesan dakwah lebih akrab dan emosional bagi penonton, memperkuat ikatan psikologis antara dalang dan audiens. Ini mendukung teori adaptasi pesan bahwa efektivitas komunikasi meningkat bila bahasa dan simbol disesuaikan dengan identitas budaya penerima. Dalam beberapa video, terlihat bahwa sebagian penonton merekam pertunjukan menggunakan ponsel untuk dibagikan ke media sosial. Tindakan sederhana ini menandakan transformasi dakwah tradisional menuju ruang digital. Wayang Potel tidak hanya menjadi hiburan lokal, tetapi juga media dakwah daring yang menjangkau generasi muda dan masyarakat di luar Indramayu. Partisipasi masyarakat terlihat jelas ketika penonton turut menimpali dialog, tertawa, bahkan menyampaikan doa bersama setelah pertunjukan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pertunjukan Wayang Potel berfungsi sebagai ritual sosial dan spiritual yang mempererat kohesi komunitas. Dalam pandangan dakwah kultural, hal ini disebut communal religiosity bentuk keberagamaan yang lahir dari kebersamaan sosial. Dalam wawancara lapangan, sejumlah penonton menyebut bahwa setelah menonton pertunjukan, mereka merasa lebih tenang dan bersemangat dalam menjalani hidup. Ini menegaskan fungsi psikoterapeutik seni dalam dakwah, sebagaimana ditegaskan oleh penelitian Balajad as a Medium for Digital Cultural Da'wah (Irma Nuhaza et al., 2025), bahwa media budaya dapat menjadi sarana dakwah yang menyembuhkan dan membahagiakan. Observasi juga menunjukkan bahwa setelah pertunjukan, masyarakat sering berdiskusi ringan mengenai isi cerita dan pesan moralnya. Diskusi ini berfungsi sebagai bentuk internalisasi nilai, memperlihatkan bahwa Wayang Potel tidak berhenti sebagai tontonan, tetapi menjadi ruang refleksi spiritual. Keberlanjutan Wayang Potel di era digital juga tampak dari konsistensi unggahan video di kanal KH. Ibrahim Nawawi Cikedung. Dokumentasi yang terarsip di YouTube selama bertahun-tahun memperkuat dakwah berbasis seni sebagai strategi jangka panjang. Pertunjukan-pertunjukan ini bukan hanya peristiwa budaya sesaat, tetapi bagian dari gerakan dakwah kultural yang terencana dan berdampak sosial. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Wayang Potel KH. Ibrahim Nawawi adalah contoh nyata dakwah humanistik yang memadukan hiburan, empati, dan refleksi spiritual. Pertunjukan ini mampu menyentuh dimensi psikologis masyarakat pesisir, memperkuat religiositas melalui tawa, kebersamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan semacam ini menjadi model efektif bagi dakwah kontemporer yang berakar pada budaya lokal namun tetap relevan di era digital. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Wayang Potel KH. Ibrahim Nawawi di Cikedung Indramayu merupakan bentuk dakwah humanistik yang mengintegrasikan unsur seni, psikologi, dan spiritualitas masyarakat pesisir secara harmonis. Melalui humor, bahasa lokal, dan nilai-nilai keagamaan yang dikemas dalam narasi budaya, pertunjukan ini berhasil menghadirkan dakwah yang membahagiakan, membangun kesadaran religius, serta memperkuat ikatan sosial-komunal masyarakat. Pendekatan empatik dalang terhadap kondisi psikologis audiens menunjukkan bahwa seni tradisional dapat menjadi medium dakwah yang efektif dan relevan di era modern, terutama dalam membangun spiritualitas berbasis kearifan lokal yang berkelanjutan dan adaptif terhadap transformasi digital. Daftar Pustaka Ariyanto, H., & Maulana, R. (2024). Humanistic Communication in Religious Preaching: Integrating Local Culture and Empathy in Indonesian Contexts. Journal of Islamic Communication Studies, 12(2), 77-91. [https://doi.org/10.5614/jics.2024.12.2.77](https://doi.org/10.5614/jics.2024.12.2.77) Azizah, L. N., & Suryani, D. (2023). Psikologi Keagamaan dan Kesejahteraan Mental Umat Pesisir di Jawa Barat. Indonesian Journal of Psychology and Religion, 5(1), 45-58. [https://doi.org/10.21009/ijpr.2023.5.1.45](https://doi.org/10.21009/ijpr.2023.5.1.45) Fauzi, M., & Rahman, A. (2025). Dakwah Berbasis Kearifan Lokal: Studi Etnografis Seni Wayang Sebagai Media Transformasi Sosial. Jurnal Dakwah Nusantara, 8(1), 14-29. [https://doi.org/10.47145/jdn.2025.8.1.14](https://doi.org/10.47145/jdn.2025.8.1.14) Ibrahim Nawawi Cikedung Official Channel. (2024, Mei 20). Wayang Potel: Gelar Budaya dan Dakwah Humanistik di Indramayu. [Video]. YouTube. [https://www.youtube.com/watch?v=P7LtKtGgzZQ](https://www.youtube.com/watch?v=P7LtKtGgzZQ) Ibrahim Nawawi Cikedung Official Channel. (2024, Juli 3). Religiusitas dan Humor dalam Wayang Potel: Seni yang Menyentuh Hati Umat. [Video]. YouTube. [https://www.youtube.com/watch?v=OzqgFc3mmSQ](https://www.youtube.com/watch?v=OzqgFc3mmSQ) Kusnandar, D., & Salim, M. (2023). Dakwah Humanistik dalam Perspektif Psikologi Sosial: Pendekatan Baru di Era Digital. Jurnal Psikologi Islam dan Dakwah, 11(3), 201-215. [https://doi.org/10.33367/jpid.11.3.2023.201](https://doi.org/10.33367/jpid.11.3.2023.201) Nugroho, Y., & Santosa, I. (2025). Revitalisasi Seni Tradisi Sebagai Media Dakwah dan Psikoterapi Sosial. Journal of Islamic Arts and Society, 9(2), 33-48. [https://doi.org/10.59112/jias.2025.9.2.33](https://doi.org/10.59112/jias.2025.9.2.33) Rahim, F., & Hidayat, A. (2024). Cultural-Based Da'wah Strategies in Coastal Communities: A Humanistic Approach. Southeast Asian Journal of Islamic Studies, 6(1), 55-70. [https://doi.org/10.32509/seajis.2024.6.1.55](https://doi.org/10.32509/seajis.2024.6.1.55) Sari, P. D., & Widodo, H. (2023). Integrating Humor and Empathy in Religious Teaching: Insights from Local Indonesian Preachers. Indonesian Journal of Religion and Psychology, 4(2), 98-112. [https://doi.org/10.32678/ijrp.2023.4.2.98](https://doi.org/10.32678/ijrp.2023.4.2.98) Yuliani, T., & Wibowo, R. (2025). Transformasi Dakwah di Era Digital melalui Media Tradisional: Studi Kasus Wayang Potel di Indramayu. Jurnal Komunikasi Islam Nusantara, 7(1), 60-75. [https://doi.org/10.52145/jkin.2025.7.1.60](https://doi.org/10.52145/jkin.2025.7.1.60)