IDENTITAS BUDAYA SUNDA DAN NILAI ESTETIKA SPIRITUAL DALAM SENI SERTA TRADISI PENCA ALIRAN SANG MAUNG BODAS DI PESANTREN MODERN DZIKIR AL-FATH Dede Setiawan1, Sandi Nugraha2, Aswi Alfani3 Universitas Negeri Semarang1, Universitas Pamulang2,? Universitas Kristen Satya Wacana3 setiawandede7@gmail.com, aswialpani2@gmail.com, alfathzumarsa@gmail.com Info Artikel Abstrak Riwayat artikel: Submit: Bulan XX, 20XX Review: Bulan XX, 20XX Publish: Bulan XX, 20XX (Cambria 9) Penca Aliran Paguron Sang Maung Bodas, sebuah entitas unik yang menyintesis tradisi bela diri Sunda dan spiritualitas Islam dalam konteks pendidikan pesantren (Pesantren Modern Dzikir Al-Fath, Sukabumi). Tujuan penelitian adalah menganalisis genealogi kultural Paguron dan mendeskripsikan nilai estetika spiritual, khususnya filosofi Eusi-Kosong, yang termuat dalam seni geraknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus etnografis. Data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam dengan sesepuh dan praktisi, serta studi dokumentasi arsip Paguron. Ditemukan bahwa Paguron Sang Maung Bodas berfungsi sebagai sistem simbolik dan media dakwah Islam melalui transformasi praktik Usik Penca Sunda menjadi intrakulikuler pesantren. Nilai estetika spiritual terkandung dalam filosofi Eusi-Kosong yang berarti ada dan tiada, yaitu pengosongan diri dari hasrat dan ego, yang memediasi kekuatan fisik (eusi) dengan disiplin batin (kosong). Keberadaan Paguron Penca Aliran Sang Maung bodasdiperkuat oleh validasi eksternal, seperti penetapan ikon seni Sukabumi (Boles, Ngageulis) dan keikutsertaan dalam acara nasional dan internasional. Estetika spiritual dalam Pencak Silat Sang Maung Bodas merupakan strategi adaptif krusial untuk mempertahankan identitas budaya Sunda dan menumbuhkan civic virtue (karakter religius, disiplin, dan tanggung jawab) pada generasi muda. Integrasi seni dan spiritualitas ini menawarkan model pendidikan karakter holistik yang relevan di era modern. Kata Kunci : Estetika Spiritual, Identitas Budaya Sunda, Penca Aliran Sang Maung Bodas, Pencak Silat, Pesantren Al-Fath. PENDAHULUAN Pencak silat, sebagai warisan budaya asli Indonesia, diakui memiliki nilai historis, filosofis, dan spiritual yang mendalam, berakar kuat pada legenda lokal dan pendidikan tradisional. Di wilayah Jawa Barat, seni bela diri ini memiliki ciri khas Sunda yang menekankan harmoni dan keseimbangan antara aspek fisik dan mental, selaras dengan falsafah hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Nilai-nilai ini mencakup kehormatan, kejujuran, dan tanggung jawab, yang merupakan elemen penting dalam membentuk karakter individu dan memperkuat hubungan sosial (Juwandi, 2022). Pencak Silat merupakan salah satu bentuk seni bela diri tradisional yang berkembang menjadi media ekspresi budaya dan spiritual masyarakat Nusantara. Dalam menghadapi era globalisasi, pelestarian warisan budaya tak benda seperti pencak silat menjadi semakin mendesak (Setiawan, 2023). Globalisasi membawa risiko homogenisasi budaya yang berpotensi melunturkan identitas lokal di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, strategi pelestarian harus bersifat strategis dan terintegrasi, khususnya melalui lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren, yang memiliki peran penting dalam mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan budaya. Integrasi ini memastikan bahwa tradisi tidak hanya dipraktikkan, tetapi juga diwariskan dengan pemahaman spiritual yang mendalam (Anwar & Purwaningsih, 2024). Dalam konteks Budaya Sunda, penca aliran Sang Maung Bodas bukan hanya sistem beladiri dalam sebuah pertarungan, tetapi juga ritual budaya yang mengandung nilai estetika, tata krama, dan makna filosofis yang mendalam.di Pesantren Modern Dzikir Al-Fath, tradisi silat ini berkembang sebagai bagian dari pendidikan karakter dan kesenian pesantren. Setiap gerak, salam, dan irama musik yang mengiringinya mengandung simbol dan makna spiritual, tradisi pencak silat di pesantren berfungsi sebagai "teater etika dan spiritualitas" yang melatih disiplin, keindahan gerak, dan kebersamaan (Saeffurridjal et al., n.d.). Fokus penelitian ini adalah Paguron Satria Awi Koneng Maung Bodas (Sang Maung Bodas), yang terletak di Kota Sukabumi, Jawa Barat. Paguron ini memiliki sejarah pembentukan yang khas: didirikan pada tahun 1996, mulanya Paguron bersifat eksklusif, ditujukan sebagai kegiatan ilmu ketahanan tubuh bagi jamaah Majelis Dzikir Aurod Bashorun Fuadun. Keterikatan awal dengan Majelis Dzikir ini menunjukkan bahwa praktik bela diri Paguron sejak awal sudah ditujukan untuk memperkuat dimensi rohani, bukan semata-mata fisik (Kencana Suci Hariang, 2022). Transformasi institusional terjadi ketika Paguron ini berkembang menjadi bagian intrakulikuler di Pondok Pesantren Dzikir Al-Fath, yang didirikan pada tahun 2010. Lingkungan religius Pesantren Modern Dzikir Al-Fath memposisikan seni pencak silat sebagai medium dakwah Islam, di mana nilai-nilai bela diri diselaraskan dengan ajaran agama. Dengan demikian, Paguron berfungsi sebagai wadah pelestarian yang secara simultan melaksanakan pembentukan watak, karakter, dan kerohanian santri, melampaui sekadar pelatihan keilmuan intelektual (Ruswandi, 2024). Meskipun Paguron Sang Maung Bodas telah terbukti sukses secara kultural-ditandai dengan penetapan keseniannya (Boles dan Ngageulis) sebagai ikon kota pada tahun 2014 dan partisipasi dalam Torch Relay ASIAN Games 2018, masih perlu dikaji secara mendalam bagaimana Paguron ini mempertahankan identitas budaya Sunda dan spiritualitasnya dalam menghadapi tuntutan pertunjukan publik. Pernyataan masalah sentral yang diangkat adalah: Bagaimana Paguron Sang Maung Bodas berhasil menyintesis identitas budaya Sunda (tradisi usik penca), nilai estetika spiritual (filosofi Eusi-Kosong), dan fungsi pendidikan agama dalam lingkungan pesantren untuk memperkuat identitas kultural dan karakter generasi muda (Siti, 2019). Secara teoritis, penelitian ini menyajikan model embodied pedagogy, menunjukkan bagaimana penguasaan gerak fisik menjadi sarana transmisi nilai-nilai kearifan lokal. Nilai kebaruan studi ini terletak pada analisis holistik Paguron yang menggunakan filosofi Eusi-Kosong-sebuah konsep sentral dalam Usik Penca Sunda sebagai mekanisme pedagogis utama untuk mencapai tujuan spiritual (tadzkia al-nafs) di lingkungan pesantren. Model ini relevan bagi kajian ilmu pendidikan yang mencari metode efektif dalam pembentukan civic virtue (karakter religius, disiplin, dan tanggung jawab) (Juwandi, 2022). KAJIAN TEORI Seni pertunjukan tradisional Indonesia memiliki ciri menyatukan fungsi ritual, hiburan, dan pendidikan. Dalam konteks Sang Maung Bodas, ketiga fungsi ini berpadu yaitu latihan silat menjadi bentuk pendidikan moral, gerak menjadi seni estetis, dan upacara menjadi perwujudan spiritualitas, kajian seni dan tradisi dalam Pencak Silat tidak dapat dilepaskan dari tiga unsur utama yaitu Seni Gerak (Art of Movement), Ritual dan Upacara Tradisional, Identitas Budaya Kolektif (Anwar & Purwaningsih, 2024). Pencak silat, sebagai sistem budaya, melampaui fungsi bela diri, menjadi ekspresi identitas yang bertujuan untuk mencapai keselarasan hidup serta peningkatan iman dan takwa. Makna mendalam ini terwujud dalam berbagai ragam aliran dan corak, yang pada dasarnya menjunjung tinggi nilai tradisi dan pola perilaku khas Nusantara. Pencak silat memiliki keterkaitan erat dengan konsep Civic Culture (budaya kewarganegaraan), yang merupakan konsep identitas terikat budaya dan kearifan lokal (Juwandi, 2022). Dalam konteks ini, praktik pencak silat secara inheren berfungsi sebagai pendidikan karakter, menanamkan civic virtue seperti religiusitas, disiplin, kerja keras, kemandirian, tanggung jawab, dan solidaritas. Karakter-karakter ini dipandang fundamental bagi pembentukan good citizen yang mampu berinteraksi secara setara dan kooperatif dalam masyarakat multikultural. Estetika adalah studi filosofis tentang keindahan, seni, dan pengalaman estetis. Dalam menganalisis seni gerak, perhatian diberikan pada nilai intrinsik dan ekstrinsik karya. Nilai intrinsik mencakup bentuk, struktur, dan penampilan seperti keharmonisan dan keluwesan gerak, sementara nilai ekstrinsik mencakup ide atau pesan yang disampaikan di luar bentuk fisik, seperti pesan moral atau filosofis. Bagi Paguron Sang Maung Bodas yang berafiliasi dengan Majelis Dzikir dan Pesantren, nilai estetika diarahkan pada dimensi spiritual. Dalam perspektif sufistik (Imam Ghazali), keindahan diinterpretasikan secara hierarkis, dari indrawi menuju transenden. Seni dalam konteks ini berfungsi untuk mencapai tawajjuh (kedamaian jiwa) dan tadzkia al-nafs (penyucian diri dari belenggu material) (Imanudin Iim, Nurlaila Lia, 2024). Seni bela diri yang kental dengan nilai agama, seperti Pencak Silat Ulu Ambek di Minangkabau, telah terbukti menggunakan unsur sufistik dan kekuatan spiritual sebagai bagian integral dari praktiknya. Estetika spiritual Sang Maung Bodas diletakkan dalam kerangka ini, di mana gerak bertujuan untuk memuliakan dan mendekatkan diri kepada Ilahi (Ilham et al., 2023). Dalam kebudayaan Sunda, gerakan pencak silat yang sarat filosofi dikenal sebagai Usik Penca. Usik (yang berarti gerak isi jurus) dianggap memiliki ruh dan kedalaman makna spiritual, berbeda dengan ibing penca yang lebih difokuskan untuk pertunjukan estetis. Konsep filosofis utama yang menjadi sumber pengembangan Usik Penca Sunda adalah Eusi-Kosong. Filosofi ini melambangkan keseimbangan fundamental dalam kehidupan manusia: ada dan tiada, atau adanya tumpuan dan pengosongan diri. Dalam konteks seni gerak Sang Maung Bodas, Eusi-Kosong menuntut sintesis antara kekuatan fisik yang terisi (eusi) dan disiplin batin yang kosong dari hasrat dan ego (kosong). Nilai ekstrinsik ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati dicapai melalui pengendalian diri yang ketat dan pengosongan diri dari keinginan duniawi. Hal ini merupakan refleksi spiritual mendalam yang menempatkan Paguron sebagai sarana untuk mencapai kedewasaan spiritual seorang pendekar, menjadikannya sarana yang tepat untuk pendidikan akhlak dan karakter Islami (Saeffurridjal et al., n.d.). METODE Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif diperlukan karena objek penelitian nilai estetika spiritual dan filosofi gerak melibatkan interpretasi makna budaya yang tidak dapat diukur secara statistik. Tujuannya adalah untuk menganalisis hubungan timbal balik antara pencak silat dan budaya Sunda, serta mengungkap sistem simbolik dalam ritusnya. Desain yang digunakan adalah Studi Kasus Etnografis (Case Study). Pendekatan etnografis memungkinkan penyelidikan yang intensif dan mendalam terhadap Paguron Sang Maung Bodas di lingkungan Pesantren Dzikir Al-Fath (sebagai satu unit sosial spesifik). Studi etnografi sangat vital untuk mengungkap struktur simbolik Paguron dan memahami bagaimana praktik embodied knowledge (pengetahuan yang terwujudkan dalam tubuh) diinternalisasi oleh santri. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Modern Dzikir Al-Fath, Kota Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi ini merupakan pusat kegiatan Paguron dan merupakan lingkungan religius yang mendukung filosofi Paguron. Untuk penentuan subjek menggunakan teknik purposive sampling, memastikan responden memiliki pengalaman mendalam dan pemahaman budaya yang memadai. responden utama dalam penelitian ini mencakup Pengasuh Pondok (Kyai) Pendiri Paguron sekaligus Sesepuh (Guru Besar) yang bertanggung jawab atas transmisi filosofi Eusi-Kosong, Pelatih Utama yang mengajarkan teknik gerak, dan perwakilan Santri yang merupakan anggota aktif intrakulikuler. Dalam pengumpulan data dilakukan melalui beberapa metode yaitu antara lain: (1) Observasi Partisipatif, pada prosesn ini pengumpulan data dilakukan dengan keterlibatan langsung dalam sesi latihan Usik Penca dari setiap jurus yang dipelajari di Paguron Sang Maung Bodas, demonstrasi seni pertunjukan ikonik (Boles dan Ngageulis), serta ritual Dzikir yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pelatihan Paguron. (2) Wawancara Mendalam, metode ini digunakan untuk menggali narasi historis (perkembangan dari Majelis Dzikir 1996), interpretasi personal mengenai makna filosofis Eusi-Kosong, dan deskripsi mengenai bagaimana Paguron menanamkan karakter civic virtue (disiplin, tanggung jawab). Studi Dokumentasi: Analisis dokumen internal Pesantren, arsip penetapan Boles dan Ngageulis sebagai ikon kota sukabumi, dan laporan kegiatan Paguron. Analisis data dilakukan secara interaktif, meliputi metode Reduksi Data yaitu melakukan peroses pemilahan data yang relevan dengan Estetika Spiritual dan Eusi-Kosong, setelah itu dilanjutkan pada proses Penyajian Data, pada tahap ini dilakukan penyusunan narasi etnografis, dan Penarikan Kesimpulan. Interpretasi data menggunakan kerangka Analisis Simbolik, di mana gerakan fisik dan ritual Paguron diurai untuk mengungkap nilai-nilai ekstrinsik (pesan spiritual dan moral) yang terkandung di dalamnya, menghubungkan praktik lokal Sunda dengan teori Estetika Sufistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan proses pengumpulan data dan pengolahan data, dihasilkan sebuah hasil penelitian yang dijelaskan menjadi beberapa sub bagian yaitu antara lain sebagain berikut: 1. Genealogi dan Strategi Adaptasi Sang Maung Bodas Sejarah Paguron Satria Awi Koneng Maung Bodas di Kota Sukabumi adalah kisah tentang adaptasi kultural yang cerdik. Paguron ini muncul pada tahun 1996, didorong oleh kebutuhan lokal akan pembinaan budaya mandiri setelah seni sandiwara dan penca tradisional mulai meredup eksistensinya di tahun 1980-an. Penarikannya ke dalam Majelis Dzikir Aurod Bashorun Fuadun sejak awal sebagai ilmu ketahanan tubuh menjamin kelangsungan hidupnya dalam lingkungan yang dihormati. Strategi ini secara efektif memberikan dasar spiritual yang kuat untuk seni bela diri tersebut. Pada tahun 2010, integrasi penuh ke dalam Pondok Pesantren Dzikir Al-Fath menegaskan posisi Paguron bukan sekadar klub bela diri, melainkan institusi pendidikan karakter dan dakwah Islam. Praktik silat di pesantren ini menjadi bagian intrakulikuler, yang berarti pengajaran bela diri diselaraskan dengan disiplin agama (shalat, dzikir, puasa). Dengan demikian, Paguron memastikan warisan Sunda tidak hilang, melainkan dimodifikasi menjadi model pedagogi holistik yang berkelanjutan. Tabel 4.1. Perbandingan Aspek Kultural, Estetika Spiritual, dan Sumber Filosofis Aspek Kultural Praktik Kunci Estetika Spiritual Sumber Filosofis Gerak Dasar Sunda Usik Penca atau Gerak Isi dari Jurus Aliran Sang Maung Bodas Disiplin Batin, Keseimbangan Kekuatan Filosofi Eusi-Kosong Kesenian Ikonik Bola Leungeun Seuneu (Boles) dan Ngagotong Lisung (Ngageulis) Representasi Kekuatan Spiritual (Kanuragan) Ilmu Ketahanan Tubuh Majelis Dzikir Pendidikan Pesantren Intrakulikuler Silat Tadzkia al-Nafs (Penyucian Diri), Civic Virtue Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah 2. Estetika Identitas Kultural Sunda dan Validasi Eksternal Aspek estetika Paguron Sang Maung Bodas terbagi antara internal (disiplin spiritual) dan eksternal (seni pertunjukan). a. Estetika Seni Ikonik Keberhasilan Paguron dalam mendapatkan pengakuan ditandai dengan penetapan Bola Leungeun Seuneu (Boles) dan Ngagotong Lisung (Ngageulis) sebagai ikon kesenian Kota Sukabumi pada tahun 2014. Kesenian ini, yang secara visual dramatis, merupakan hasil teatrikalisasi dari praktik spiritual yang eksklusif. Artinya, disiplin ilmu ketahanan tubuh yang tadinya hanya untuk jamaah, kini dikemas menjadi pertunjukan yang indah dan menarik, namun tetap membawa pesan kekuatan batin. Estetika pertunjukan didukung oleh iringan musik tradisional Sunda, seperti tarompet, genjring, dan rebab, yang dipadukan dengan instrumen modern. Perpaduan musik ini menciptakan suasana kultural yang khas, sekaligus mendukung narasi filosofis dalam setiap adegan. b. Validasi Eksternal dan Kontribusi Kultural Puncak eksistensi Paguron adalah partisipasinya sebagai satu-satunya penampil dalam acara internasional Torch Relay ASIAN Games 2018 di Jakarta. Pencapaian ini membuktikan bahwa seni yang berakar pada lingkungan religius dan budaya lokal mampu bersaing di panggung global. Kesuksesan eksternal ini secara otomatis memperkuat identitas kultural Paguron dan menarik minat regenerasi. Paguron juga berkontribusi pada kehidupan sosial budaya Sukabumi, termasuk pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan seni sebagai sarana wisata dan pendidikan. Hal ini menunjukkan fungsi Paguron sebagai pusat transmisi budaya yang efektif: Tabel 4.2. Fungsi Paguron Sang Maung Bodas dalam kehidupan Sosial di Kota Sukabumi Fungsi Internal Fungsi Eksternal Tujuan Utama Pembinaan Karakter Santri (Disiplin, Religius) Ikon Seni dan Daya Tarik Wisata Melindungi dan Menjaga Warisan Budaya Sunda Transmisi Ilmu Usik Penca dan Dzikir Media Dakwah Islam dan Hiburan Kolektif Meningkatkan Eksistensi dan Regenerasi Pengembangan Disiplin Batin (Eusi-Kosong) Mempromosikan Identitas Budaya Sunda dalam berbagai kegiatan baik di skala logal, regional, nasional, maupun internasional Pembentukan Good Citizen (Civic Virtue) 3. Diseksi Estetika Spiritual Gerak dan Filosofi Eusi-Kosong Estetika spiritual Paguron Sang Maung Bodas berpusat pada pemaknaan filosofi Eusi-Kosong, yang merupakan jantung dari tradisi Usik Penca Sunda. a. Estetika Gerak Intrinsik dan Usik Penca Usik Penca adalah gerakan dasar yang menuntut tingkat penghayatan kuat. Secara estetika, gerakan ini diolah dan distilasi dari Ibing Penca Sunda menjadi idiom baru yang relevan dengan seni kontemporer, namun tetap mempertahankan harmoni dan keluwesan. Gerakan harus mencerminkan keseimbangan antara kekuatan fisik dan ketenangan batin. Sama halnya dengan setiap jurus yang dipelajari oleh semua pesilat yang ada di paguron sang maung bodas, dalam setiap usik memiliki makna yang dalam seperti dalam jurus khas maung kebet, panca kinanti, dan golok kala petok. b. Estetika Makna Ekstrinsik dalam Manifestasi Eusi-Kosong Filosofi Eusi-Kosong mengajarkan bahwa kehidupan adalah keseimbangan antara isi dan kekosongan, antara tumpuan dan pengosongan diri. Dalam pelatihan spiritual, Eusi-Kosong diterjemahkan sebagai keharusan untuk mengosongkan diri dari hasrat dan ego. Ini berarti, meskipun seorang pesilat memiliki kekuatan fisik yang sempurna (eusi), keindahan dan kebijaksanaan spiritualnya hanya tercapai ketika ia memiliki pengendalian diri dan kerendahan hati (kosong). Konsep ini sangat selaras dengan tujuan Sufistik sebagai tadzkia al-nafs atau sebagai sarana penyucian diri, di mana keindahan seni digunakan untuk membebaskan jiwa dari ikatan duniawi dan mendekatkan diri kepada sang ilahi. Gerak menjadi sarana refleksi batin, bukan hanya teknik bertarung. Estetika spiritual ini menjamin bahwa setiap aksi fisik diimbangi oleh disiplin moral. c. Pedagogi Gerak untuk Pembentukan Karakter (Civic Virtue) Filosofi Eusi-Kosong menjadi landasan pedagogi di Pesantren Al-Fath. Dengan menuntut pengendalian ego, Penca Aliran Paguron Silat Sang Maung Bodas secara efektif menanamkan civic virtue dan karakter Islami, seperti rendah hati, tanggung jawab, dan disiplin. Pelatihan yang mengintegrasikan aspek jasmani, rohani, dan spiritual membantu menghasilkan individu yang berkarakter luhur, sesuai dengan tuntutan identitas nasional dan keagamaan. Gerakan dalam Pencak Silat, seperti gerakan salam, secara eksplisit mencerminkan nilai hormat, kesabaran, dan spiritualitas. KESIMPULAN Pencak Silat Sang Maung Bodas adalah perwujudan seni dan tradisi Sunda yang hidup dan berkembang di pesantren sebagai bentuk pendidikan moral, estetika, dan spiritualitas. Seni geraknya mencerminkan harmoni tubuh dan jiwa, upacaranya menegaskan nilai kesucian dan hormat, sementara musik dan simbolnya memperkuat ekspresi budaya yang religius. Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa Penca Aliran Sang Maung Bodas sukses besar dalam merekonstruksi dan memperkuat identitas budaya Sunda melalui sintesis antara tradisi bela diri dan spiritualitas Islam di Pesantren Modern Dzikir Al-Fath melalui pencapaian yaitu (1) Sinergi Institusional, adanya Pengikatan Paguron pada lingkungan Pesantren sejak awal (1996) dan penetapannya sebagai intrakulikuler mulai tahun 2010, hal ini merupakan sebuah strategi adaptif krusial. Strategi ini melindungi warisan budaya penca dari kepunahan dan homogenisasi, memberinya landasan keagamaan yang kuat dan menjamin keberlanjutan regenerasi. (2) Estetika Spiritual sebagai Mekanisme Pedagogis yaitu dimana Nilai estetika Paguron melampaui keindahan fisik, ia berpusat pada filosofi Eusi-Kosong. Filosofi ini berfungsi sebagai mekanisme pedagogis yang menghubungkan kekuatan fisik (eusi) dengan kedewasaan spiritual (pengosongan ego atau kosong). Konsep ini efektif dalam membentuk karakter santri, menanamkan civic virtue seperti disiplin, tanggung jawab, dan religiusitas. (3) Validasi Kultural Adaptif adanya Keberhasilan Paguron dalam mendapatkan pengakuan sebagai ikon kesenian Kota Sukabumi dan partisipasi dalam berbagai kegiatan seni budaya yang bersakala nasional dan internasional menunjukkan kemampuan Paguron Aliran Sang Maung Bodas untuk "teatrikalisasi" disiplin spiritualnya. Estetika yang dipamerkan secara eksternal berfungsi ganda sebagai promosi budaya dan penarik minat generasi muda terhadap warisan Sunda. Dalam konteks modern, keberadaan Sang Maung Bodas membuktikan bahwa warisan budaya tradisional dapat tetap relevan dengan nilai pendidikan dan spiritual kontemporer. Silat menjadi jembatan antara seni, agama, dan kebangsaan sehingga dapat menjadikan manusia "pendekar sejati" yang indah dalam gerak dan bersih dalam hati REFERENSI Anwar, U., & Purwaningsih, S. M. (2024). Perkembangan Pendidikan Spiritual Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate Di Surabaya Tahun 1981-2000. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 15(2), 1-11. Ilham, W., Musa, N. M., & Amin, R. M. (2023). Pencak Silat sebagai Warisan Budaya: Identitas Lokal Seni Silat Ulu Ambek di Pariaman, Sumatera Barat. Al Mabhats?: Jurnal Penelitian Sosial Agama, 8(1), 37-54. https://doi.org/10.47766/almabhats.v8i1.1046 Imanudin Iim, Nurlaila Lia, H. I. (2024). Cultural and Religious Resilience: Dzikir Al-Fath, Boarding School, Sukabumi, West Java in a Globalized World. Cultural and Religious Resilience: Dzikir Al-Fath, Boarding School, Sukabumi, West Java in a Globalized World. Juwandi, R. (2022). Jurnal Moral Kemasyarakatan Penguatan Civic Culture Berbasis Nilai Kearifan Lokal Melalui. 7(2), 194-205. Kencana Suci Hariang, S. A. B. (2022). Potret Paguron Satria Awi Koneng Maung Bodas Di Kota Sukabumi. FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 11(2), 179-188. Ruswandi, Y. (2024). Internalisasi Lima Nilai Karakter Budaya Sunda dalam Pendidikan Kewirausahaan. Kaipi: Kumpulan Artikel Ilmiah Pendidikan Islam, 2(1), 24-33. https://doi.org/10.62070/kaipi.v2i1.54 Saeffurridjal, A. N., Herdiani, E., & Sumiati, L. (n.d.). EUSI-KOSONG DALAM KURUNG-KURING?: EKSPLORASI KOREOGRAFI BERBASIS. 29-33. Setiawan, E. (2023). Implementasi Nilai Religius Seni Pencak Silat Pagar Nusa Berbasis Pendidikan Karakter. Al Mabhats?: Jurnal Penelitian Sosial Agama, 8(2), 137-152. https://doi.org/10.47766/almabhats.v8i2.2005 Siti, S. (2019). Pesan Dakwah Dalam Permainan Bola Leungeun Seuneu (Studi Kasus Tentang Seni Islam Permainan Bola Leungeun Seuneu di Pondok Pesantren Dzikir Al-Fath Desa Karang Tengah Kecamatan Gunung Puyuh Kota Sukabumi). Educacao e Sociedade, 1(1), 1689-1699. http://www.biblioteca.pucminas.br/teses/Educacao_PereiraAS_1.pdf%0Ahttp://www.anpocs.org.br/portal/publicacoes/rbcs_00_11/rbcs11_01.htm%0Ahttp://repositorio.ipea.gov.br/bitstream/11058/7845/1/td_2306.pdf%0Ahttps://direitoufma2010.files.wordpress.com/2010/ COMUNICA Penulis ¦ Judul COMMUNICA Penulis ¦ Judul 2| | 3 JOURNAL OF ISLAMIC SOCIAL INNOVATION AND EMPOWERMENT Vol. 01 No. 01 Februari 2025 | Hal. 01-3 e-ISSN/p- ISSN : XXXX-XXXX/XXXX-XXXX https://ejournal.stidkinu.ac.id/index.php/JIMI/index