"The Influence of Communication Media on Trans7's Framing that Generates Hate Speech" Kristiani Nur Hasyim Maulidah2 Nurul Inayah 3 Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam Nahdlatul Ulama Indramayu,? Indonesia Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam Nahdlatul Ulama Indramayu,? Indonesia Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam Nahdlatul Ulama Indramayu,? Indonesia Korespondensi nurulinayah81@gmail.com. nur.maulidah@stidkinu.ac.id kristianip31@gmail.com Info Artikel Abstrak Riwayat artikel: Submit: Bulan XX, 20XX Review: Bulan XX, 20XX Publish: Bulan XX, 20XX (Cambria 9) This study aims to analyze how communication media, particularly Trans7 television broadcasts, influence the construction of public opinion through news framing that has the potential to incite hate speech. The method used is Robert Entman's framing analysis model with a descriptive qualitative approach. The results show that the way Trans7 presents certain social and political issues-through the selection of sources, narrative structure, and visual elements-can reinforce negative perceptions toward specific groups in society. This process shapes cognitive bias among audiences and contributes to the increase of hate expression in digital spaces. Ideally, media should function as an objective, educational, and enlightening source of information. However, in practice, the media often become a means of reproducing discourses that distort social harmony. Instead of providing balanced and in-depth understanding, media framing can create meaning distortion that leads to public misperception. This phenomenon demonstrates that media are not merely channels of communication but active agents in shaping the social and ideological structure of society. When the message contains bias, the public is not just a passive recipient of information but becomes entangled in divisive discourses. Therefore, ethical awareness and journalistic professionalism are crucial to ensure that every piece of information disseminated does not generate misinformation or hatred toward any group. In conclusion, when media fail to fulfill their ideal function as conveyors of truthful and balanced information, they risk becoming sources of social disorientation. Hence, ethical awareness and moral responsibility must serve as the foundation of all journalistic practices so that the media can act as agents of enlightenment rather than as triggers of hatred. Keywords: Communication media, Framing, Trans7, Hate speech, Public opinion PENDAHULUAN Media komunikasi memiliki posisi yang sangat penting dalam membentuk opini dan persepsi masyarakat terhadap berbagai isu sosial, politik, maupun keagamaan. Dalam ranah media televisi, cara suatu lembaga penyiaran mengemas dan menampilkan berita melalui proses framing menjadi elemen kunci yang menentukan bagaimana khalayak memahami realitas sosial. Trans7 sebagai salah satu stasiun televisi nasional yang memiliki jangkauan luas dan reputasi publik yang kuat, berperan besar dalam membentuk arah wacana yang berkembang di masyarakat. Di tengah perkembangan era digital yang serba cepat dan kompetitif, praktik framing yang tidak berimbang justru dapat menciptakan distorsi makna. Alih-alih memberikan informasi yang objektif, media kerap menampilkan konstruksi realitas yang memperkuat bias dan bahkan menimbulkan sentimen negatif di kalangan publik. Hal ini tampak dalam pemberitaan Trans7 mengenai Pesantren Lirboyo yang sempat menuai kontroversi. Tayangan tersebut menampilkan pesantren dengan sudut pandang yang kurang proporsional, sehingga memunculkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Pesantren yang seharusnya dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dengan kontribusi besar terhadap moral bangsa, justru tergambarkan secara keliru. Reaksi publik yang muncul menunjukkan adanya kekecewaan dan kemarahan atas pemberitaan yang dinilai tidak sensitif terhadap nilai-nilai keislaman dan kebudayaan pesantren. Fenomena ini memperlihatkan bahwa media tidak hanya berperan sebagai saluran penyampai informasi, melainkan juga sebagai agen pembentuk realitas sosial. Ketika representasi yang dibangun media menyimpang dari fakta, dampaknya tidak sekadar pada kesalahan persepsi, tetapi dapat memicu polarisasi sosial, munculnya prasangka, bahkan berkembangnya ujaran kebencian di ruang publik digital. Sejalan dengan teori konstruksi sosial atas realitas yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann (1966), media massa berfungsi sebagai institusi yang membentuk makna sosial melalui proses produksi dan distribusi simbol. Artinya, realitas yang diterima masyarakat sering kali bukan realitas objektif, melainkan realitas yang telah dikonstruksi oleh media. Dalam konteks kajian komunikasi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui peran ilmu komunikasi sebagai disiplin yang mempelajari proses penyampaian, penerimaan, dan pemaknaan pesan. Ilmu komunikasi memiliki keterkaitan erat dengan teori sosial, psikologi, budaya, linguistik, dan teknologi, karena seluruhnya berhubungan dengan bagaimana manusia menggunakan simbol untuk berinteraksi dan membangun makna. Kemampuan manusia menciptakan sistem simbol dan bahasa telah mendorong revolusi dalam kehidupan sosial-membangun identitas, mengartikulasikan kepentingan ekonomi dan politik, serta menciptakan solidaritas sosial di antara anggota masyarakat.(Maulidah, 2025) Sebagai sistem simbolik, media komunikasi memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, media dapat menjadi sarana penyebaran informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai kebenaran yang memperluas wawasan publik. Namun di sisi lain, media juga dapat menjadi alat hegemoni ideologi dan kepentingan tertentu yang dikemas secara halus melalui bahasa, narasi, maupun visual. Ketika proses produksi informasi dilakukan secara masif tanpa tanggung jawab etis, hal ini berpotensi membentuk persepsi keliru dan memperkuat stereotip terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat. Seiring perkembangan teknologi komunikasi - mulai dari penemuan mesin cetak, siaran radio, televisi, hingga internet - media mengalami transformasi besar dalam fungsi dan pengaruhnya. Media massa kini tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga instrumen pembentuk opini publik dan keyakinan kolektif. Menurut Straubhaar dan LaRose (2006), media televisi termasuk kategori old media yang tetap memiliki daya pengaruh besar terhadap kesadaran sosial masyarakat meskipun bersaing dengan new media. Kasus pemberitaan Trans7 tentang Pesantren Lirboyo menjadi ilustrasi nyata dari kekuatan media dalam membentuk persepsi publik. Framing yang dilakukan media tersebut memperlihatkan bagaimana konstruksi berita dapat menghasilkan bias makna dan memengaruhi pandangan masyarakat terhadap suatu institusi keagamaan. Situasi ini menegaskan pentingnya profesionalisme dan tanggung jawab etis dalam praktik jurnalistik. Media seharusnya menjadi ruang pencerahan publik yang mendorong pemahaman sosial yang lebih inklusif, bukan justru memperkeruh suasana dengan menghadirkan disinformasi dan polarisasi. KAJIAN TEORI 1. Media Komunikasi Menurut McQuail (2010), media komunikasi merupakan sarana yang digunakan untuk mentransmisikan pesan dari komunikator kepada khalayak luas. Media tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampai informasi, tetapi juga sebagai agen sosial yang berperan dalam membentuk kesadaran, nilai, dan perilaku masyarakat. Dalam konteks media massa, kekuatan utama media terletak pada kemampuannya memengaruhi cara berpikir, menilai, dan bertindak masyarakat terhadap suatu peristiwa. Dalam kehidupan sosial Indonesia, media seharusnya berfungsi sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, yakni menegakkan prinsip kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Namun, dalam praktiknya, tidak semua media mampu menjaga fungsi tersebut. Kasus pemberitaan Trans7 tentang Pesantren Lirboyo menunjukkan adanya penyimpangan fungsi media komunikasi. Alih-alih menyebarkan informasi yang edukatif dan berimbang, tayangan tersebut menimbulkan interpretasi negatif di kalangan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena ini memperlihatkan bahwa media memiliki potensi besar untuk membentuk konstruksi sosial yang dapat bertentangan dengan nilai moral dan religius yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Menurut teori media effects, pengaruh media terhadap publik tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga normatif dan ideologis. Artinya, pesan yang disampaikan media dapat membentuk opini publik dan bahkan memengaruhi sistem nilai yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu, setiap lembaga penyiaran dituntut untuk menerapkan prinsip tanggung jawab sosial (social responsibility of the press) sebagaimana disampaikan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm (1956), yakni bahwa kebebasan pers harus diimbangi dengan kewajiban moral untuk menjamin kebenaran dan keseimbangan informasi. Konsep framing menjadi salah satu pendekatan penting dalam memahami bagaimana media mengonstruksi realitas. Menurut Entman (1993), framing adalah proses seleksi dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari suatu realitas yang bertujuan untuk menekankan makna tertentu di benak khalayak. Proses ini melibatkan empat elemen utama, yaitu: (1) mendefinisikan masalah, (2) menentukan penyebab masalah, (3) membuat penilaian moral, dan (4) menawarkan solusi atau rekomendasi tindakan. Dengan demikian, media tidak hanya memberitakan fakta, tetapi juga membingkai realitas sesuai dengan kepentingan redaksional, politik, atau ideologis tertentu. Dalam kasus pemberitaan Trans7 mengenai Pesantren Lirboyo, proses framing tampak dari cara media memilih narasumber, bahasa, dan visualisasi yang digunakan dalam tayangan tersebut. Pemilihan aspek tertentu dari realitas pesantren tanpa menyajikan konteks yang utuh telah mengarahkan khalayak pada pemaknaan negatif terhadap kehidupan pesantren dan santri. Padahal, pesantren merupakan institusi keagamaan yang berperan penting dalam melestarikan nilai-nilai keislaman, moralitas, serta semangat kebangsaan. Dengan framing yang tidak berimbang, media justru memperlemah citra lembaga keagamaan yang menjadi benteng nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang menegaskan bahwa penyiaran harus menjunjung tinggi nilai moral, etika, dan keagamaan. Secara teoretis, framing media mencerminkan bagaimana kekuasaan simbolik bekerja dalam masyarakat. Bourdieu (1991) menjelaskan bahwa media memiliki symbolic power untuk menentukan apa yang dianggap penting dan benar di ruang publik. Dalam konteks ini, framing yang dilakukan Trans7 dapat dipahami sebagai bentuk kekuasaan simbolik yang berpotensi memengaruhi persepsi publik terhadap nilai-nilai keagamaan dan sosial masyarakat. 3. Ujaran Kebencian (Hate Speech) Ujaran kebencian merupakan bentuk komunikasi yang mengandung ekspresi permusuhan, penghinaan, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan identitas, keyakinan, suku, agama, ras, atau pandangan politik. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), penyebaran ujaran kebencian melalui media massa dan media digital merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam konteks media komunikasi, ujaran kebencian sering kali muncul sebagai dampak lanjutan dari framing berita yang tidak proporsional. Ketika media menyajikan suatu isu dengan nada yang cenderung negatif, khalayak dapat membangun persepsi emosional dan mengekspresikannya dalam bentuk ujaran kebencian di ruang publik, terutama di media sosial.(Braun & Cklarke, 2022) Kasus pemberitaan Trans7 tentang Pesantren Lirboyo menjadi contoh nyata bagaimana media dapat menjadi pemicu munculnya ujaran kebencian secara tidak langsung. Tayangan yang menyoroti kehidupan pesantren secara sepihak telah membentuk opini publik yang keliru, sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang merasa nilai keagamaannya dilecehkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa fungsi media sebagai agen penyebar informasi telah bergeser menjadi pemicu polarisasi sosial. Dari perspektif komunikasi Islam, setiap bentuk komunikasi seharusnya diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan dan memperkuat ukhuwah antarumat manusia. Oleh karena itu, media massa harus mengedepankan prinsip tabligh (menyampaikan kebenaran), amanah (tanggung jawab moral), dan akhlaq al-karimah (etika komunikasi) dalam setiap pemberitaannya. Ketika media gagal memegang nilai-nilai tersebut, maka media justru akan kehilangan fungsinya sebagai sarana pencerahan dan berubah menjadi sumber disinformasi serta kebencian sosial.(Irfan H. Arif, Asmin Lukman, 2021) METODE 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan tujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana media televisi, khususnya Trans7, membingkai realitas sosial melalui tayangan berita yang berpotensi menimbulkan ujaran kebencian. Pendekatan ini dipilih karena memungkinkan peneliti untuk menganalisis makna, simbol, serta konteks sosial yang terkandung dalam teks media secara interpretatif.(Wijaya, 2017) Pendekatan kualitatif juga berfokus pada upaya mengungkap konstruksi makna di balik penyajian pesan media, bukan sekadar mengukur dampak secara statistik. Dengan demikian, penelitian ini lebih menekankan pada pemahaman mendalam (verstehen) terhadap bagaimana proses framing terbentuk dan memengaruhi persepsi khalayak.(Ariestyani & Ramadhanty, 2022) 2. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini termasuk dalam analisis isi kualitatif (qualitative content analysis) dengan menggunakan model analisis framing Robert Entman (1993). Model ini dipilih karena memberikan kerangka yang jelas dalam menelaah bagaimana media memilih, menonjolkan, dan menafsirkan suatu isu tertentu. Menurut Entman, framing mencakup empat elemen utama, yaitu: 1. Define Problems (Mendefinisikan Masalah) - bagaimana media mendefinisikan suatu peristiwa atau isu. 2. Diagnose Causes (Menentukan Penyebab) - siapa atau apa yang dianggap menyebabkan masalah. 3. Make Moral Judgement (Memberikan Penilaian Moral) - nilai atau norma apa yang digunakan untuk menilai peristiwa tersebut. 4. Suggest Remedies (Menawarkan Solusi) - tindakan atau solusi apa yang dianggap tepat menurut media. Keempat elemen ini digunakan untuk menganalisis bagaimana Trans7 membingkai pemberitaan mengenai Pesantren Lirboyo, serta bagaimana framing tersebut membentuk persepsi publik yang berpotensi menimbulkan ujaran kebencian di ruang digital. 3. Sumber dan Jenis Data Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yaitu: a. Data Primer Data primer diperoleh melalui observasi terhadap tayangan berita Trans7 yang menyoroti Pesantren Lirboyo, serta analisis terhadap narasi, visual, dan cara penyajian informasi dalam tayangan tersebut. Selain itu, wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan terhadap beberapa informan, seperti dosen komunikasi, praktisi media, dan masyarakat yang menjadi penonton tayangan tersebut, untuk mendapatkan perspektif lebih luas mengenai dampak pemberitaan. b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, seperti jurnal ilmiah, buku teks komunikasi massa, dokumen peraturan perundang-undangan (UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan UU ITE No. 19 Tahun 2016), artikel berita, serta literatur yang relevan tentang teori framing, komunikasi massa, dan ujaran kebencian.(Sangadji Mamang Etta, 2010) 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: a. Dokumentasi Peneliti mengumpulkan dan menonton ulang tayangan Trans7 yang berkaitan dengan pemberitaan Pesantren Lirboyo. Cuplikan video dan transkrip narasi berita dijadikan sebagai bahan utama analisis. b. Observasi Media Peneliti melakukan observasi terhadap cara Trans7 menyusun berita, termasuk pemilihan narasumber, gaya bahasa yang digunakan, serta elemen visual seperti gambar, ekspresi, dan tone suara penyiar. c. Studi Literatur Studi pustaka dilakukan dengan menelaah berbagai teori dan penelitian terdahulu yang relevan dengan topik, seperti teori komunikasi massa, teori framing Entman, teori agenda setting, dan teori tanggung jawab sosial media. 5. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan menggunakan model analisis framing Robert Entman, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Identifikasi teks berita Menentukan bagian-bagian penting dalam tayangan yang mengandung framing, seperti narasi, kata kunci, visualisasi, dan kutipan narasumber. b. Klasifikasi elemen framing Mengelompokkan setiap elemen berita ke dalam empat kategori utama framing Entman (definisi masalah, penyebab, penilaian moral, dan solusi). c. Interpretasi makna Menafsirkan bagaimana media membangun makna melalui cara penyajian berita dan bagaimana hal tersebut memengaruhi persepsi khalayak. d. Analisis konteks sosial Mengaitkan hasil analisis framing dengan kondisi sosial, budaya, dan religius masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. e. Penarikan kesimpulan Menyusun temuan tentang bagaimana framing Trans7 dapat menimbulkan bias persepsi dan memicu ujaran kebencian di ruang digital. 6. Keabsahan Data Untuk menjaga keabsahan dan validitas data, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber dan metode. Triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis tayangan dengan hasil wawancara dan temuan dari literatur akademik. Selain itu, interpretasi hasil penelitian juga dikonsultasikan kepada pakar komunikasi untuk memastikan objektivitas analisis. 7. Subjek dan Objek Penelitian Objek penelitian: Pemberitaan Trans7 tentang Pesantren Lirboyo. Subjek penelitian: Framing media dalam tayangan berita dan persepsi masyarakat terhadap tayangan tersebut. Objek ini dipilih karena memiliki relevansi tinggi dengan isu keagamaan, representasi media, dan potensi ujaran kebencian yang berkembang dalam masyarakat digital. 8. Etika Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip etika penelitian komunikasi, termasuk menjaga kerahasiaan informan, tidak melakukan manipulasi data, serta menghormati nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Peneliti juga berkomitmen untuk menampilkan hasil analisis secara objektif tanpa keberpihakan politik maupun ideologis tertentu. Gambar dan Tabel (Sub Bab ditulis dengan huruf tebal) Gambar 1.1 Narasi yang menimbulkan Ujaran Kebencian Potongan narasi pemberitaan yang disiarkan oleh Trans7 menampilkan pernyataan atau visualisasi yang mengindikasikan adanya praktik "pedonisme" dan "perbudakan" di lingkungan pesantren. Narasi tersebut menimbulkan interpretasi negatif di kalangan masyarakat dan memicu reaksi emosional yang berujung pada munculnya ujaran kebencian di ruang digital. Dalam konteks analisis framing, bagian ini menunjukkan bagaimana pemilihan kata (diksi), penyusunan kalimat, dan konteks visual dalam sebuah tayangan dapat menciptakan bias makna. Ketika media menampilkan pesan dengan narasi yang tidak berimbang dan tanpa verifikasi menyeluruh, publik cenderung menggeneralisasi informasi tersebut sehingga menimbulkan prasangka terhadap institusi keagamaan. Hal ini menegaskan pentingnya etika jurnalistik dan prinsip tanggung jawab sosial media dalam setiap penyusunan berita, agar media tidak menjadi sumber disinformasi dan ujaran kebencian, melainkan tetap berperan sebagai sarana edukasi dan pencerahan publik. Gambar 1.2 Respon Masyarakat Gambar ini memperlihatkan reaksi publik, tokoh ulama, dan kiai terhadap pemberitaan yang disiarkan oleh Trans7, yang dianggap menampilkan narasi tidak akurat mengenai kehidupan pesantren. Banyak tokoh agama menilai bahwa tayangan tersebut tidak mencerminkan realitas pesantren secara utuh, serta menyudutkan lembaga pendidikan Islam tradisional yang selama ini berperan besar dalam membentuk karakter dan moral bangsa. Para ulama dan kiai mengungkapkan kekecewaan dan mengecam isi pemberitaan, karena dinilai disusun oleh pihak yang tidak memahami tradisi dan kultur pesantren secara langsung, namun mengklaim diri paling mengetahui kehidupan santri. Sikap ini menimbulkan kesan arogansi pengetahuan dan memperkuat ketegangan sosial antara media dengan komunitas pesantren.(Maulidah, 2024) Reaksi masyarakat yang terekam melalui media sosial dan pernyataan publik menunjukkan bahwa pemberitaan semacam ini telah menyakiti perasaan umat Islam dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama. Dalam konteks kajian komunikasi, fenomena ini menggambarkan bagaimana framing media yang bias dapat memicu resistensi publik dan memperlebar jarak antara media dengan masyarakat yang memiliki nilai religius tinggi.(Helmy & Ayuni, 2019) Gambar 1.3 Hastag Tagar Boikot Trans 7 Gambar ini menampilkan fenomena munculnya tagar #BoikotTrans7 yang ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial, seperti X (Twitter), Instagram, dan Facebook. Tagar tersebut menjadi bentuk ekspresi kekecewaan dan penolakan publik terhadap pemberitaan Trans7 yang dinilai tidak objektif dan menyinggung nilai-nilai pesantren serta keagamaan. Reaksi publik yang diwujudkan melalui gerakan digital ini memperlihatkan tingkat kesadaran sosial dan partisipasi masyarakat dalam mengontrol etika media massa. Banyak pengguna media sosial, termasuk kalangan santri, alumni pesantren, akademisi, serta tokoh masyarakat, menyuarakan kritik terhadap sistem media swasta di Indonesia yang dianggap semakin berpihak pada kepentingan tertentu dan mengabaikan prinsip keadilan serta keberimbangan berita. Fenomena tagar #BoikotTrans7 menunjukkan bentuk media resistance-yakni penolakan kolektif masyarakat terhadap hegemoni media arus utama. Publik tidak lagi menjadi konsumen pasif, melainkan subjek kritis yang mampu merespons dan menolak narasi media yang dianggap merugikan nilai-nilai sosial, moral, dan keagamaan. (Mokodompit, 2022) Dalam konteks komunikasi massa, gerakan digital seperti ini mencerminkan pergeseran kekuasaan media dari dominasi lembaga penyiaran menuju partisipasi aktif masyarakat dalam ruang publik digital. Tagar #BoikotTrans7 menjadi simbol ketidakpercayaan terhadap sistem media swasta yang dinilai kurang beretika dan tidak berpihak pada kebenaran substansial.(Ariestyani & Ramadhanty, 2022) Dengan demikian, Gambar 1.3 tidak hanya merepresentasikan bentuk kemarahan publik, tetapi juga manifestasi kontrol sosial terhadap praktik jurnalistik di Indonesia, yang menuntut adanya transparansi, keadilan, dan tanggung jawab moral dari lembaga media dalam menjalankan fungsi komunikasinya.(Anggraini & Mihardja, 2025) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis framing terhadap tayangan pemberitaan Trans7 mengenai Pesantren Lirboyo, ditemukan bahwa media memiliki peran dominan dalam membentuk persepsi publik melalui pemilihan narasi, visualisasi, dan struktur penyajian berita. Tayangan tersebut menampilkan pesantren dalam bingkai yang cenderung negatif, dengan penggunaan diksi yang mengarah pada generalisasi dan tanpa konfirmasi langsung terhadap pihak pesantren. Hal ini menimbulkan kesan bias dan memunculkan persepsi keliru di kalangan masyarakat. Dalam perspektif analisis framing Robert Entman, pemberitaan Trans7 menunjukkan empat elemen penting yang berkontribusi terhadap pembentukan makna di benak khalayak: Define Problems (Mendefinisikan Masalah) Trans7 membingkai pesantren sebagai ruang sosial yang di dalamnya terjadi praktik yang dianggap tidak manusiawi. Definisi masalah ini menempatkan pesantren sebagai objek pemberitaan yang bermasalah tanpa menghadirkan konteks sosial dan kultural yang memadai.(Irfan H. Arif, Asmin Lukman, 2021) Diagnose Causes (Menentukan Penyebab) Penyebab masalah dikonstruksi melalui narasi yang menonjolkan perilaku santri dan sistem pendidikan pesantren, seolah-olah permasalahan tersebut bersumber dari tradisi keagamaan itu sendiri. Padahal, tidak ada bukti empiris yang mendukung klaim tersebut secara menyeluruh. Make Moral Judgement (Memberikan Penilaian Moral) Framing media menampilkan penilaian moral secara implisit dengan menggambarkan pesantren sebagai lembaga tertutup dan tertinggal. Dalam konteks ini, media berperan sebagai pihak yang "menilai", bukan sebagai penyampai fakta yang netral. Suggest Remedies (Menawarkan Solusi) Solusi yang ditawarkan bersifat parsial dan lebih menonjolkan perspektif modernisme tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan pesantren yang sesungguhnya. Analisis ini memperlihatkan bahwa framing media tidak sekadar membentuk cara masyarakat memahami realitas, tetapi juga menanamkan bias ideologis yang dapat memengaruhi hubungan sosial antar kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberitaan semacam ini berpotensi melahirkan ujaran kebencian (hate speech) di ruang digital, karena publik yang merasa tersinggung kemudian mengekspresikan kemarahan melalui media sosial. Fenomena ini sejalan dengan teori media effects yang menyatakan bahwa pengaruh media terhadap publik tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga normatif dan ideologis. Pesan yang disampaikan media dapat membentuk opini publik, memperkuat stereotip, dan bahkan memengaruhi sistem nilai masyarakat. Dalam kasus ini, media telah berkontribusi terhadap munculnya polarisasi sosial antara masyarakat pesantren dan audiens umum yang tidak memahami konteksnya secara mendalam. Selain itu, dari sudut pandang teori social construction of reality (Berger & Luckmann, 1966), hasil penelitian memperlihatkan bahwa realitas yang diterima masyarakat bukanlah realitas objektif, melainkan realitas yang dikonstruksi oleh media. Trans7 melalui pilihan narasi dan visual telah membentuk konstruksi sosial baru tentang pesantren, yang sayangnya bertentangan dengan realitas kehidupan pesantren sesungguhnya yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, pendidikan moral, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.(Braun & Cklarke, 2022) Reaksi publik yang kemudian muncul mulai dari kecaman para ulama hingga munculnya tagar #BoikotTrans7 menunjukkan bahwa masyarakat kini tidak lagi menjadi penerima pasif informasi media. Publik justru tampil sebagai subjek aktif yang menilai, mengkritik, dan menolak konstruksi wacana yang dianggap merugikan nilai-nilai keislaman. Ini merupakan bentuk media resistance atau perlawanan terhadap hegemoni media arus utama yang tidak berimbang. Dari temuan ini, dapat disimpulkan bahwa framing negatif dalam pemberitaan tidak hanya merusak citra lembaga keagamaan, tetapi juga mengancam kohesi sosial. Ketika media gagal menjalankan fungsi tanggung jawab sosialnya, kepercayaan publik terhadap media pun menurun, dan ruang digital menjadi wadah baru bagi ekspresi kebencian yang tidak terkendali. Oleh karena itu, penting bagi setiap lembaga penyiaran untuk menerapkan prinsip social responsibility of the press dengan menjunjung tinggi akurasi, keseimbangan, dan etika dalam setiap pemberitaan.(Ratomi, 2013) KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa media komunikasi memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik melalui proses framing, dan kekuatan tersebut dapat berdampak negatif apabila tidak diiringi dengan tanggung jawab etis dan profesionalisme jurnalistik. Kasus pemberitaan Trans7 tentang Pesantren Lirboyo menunjukkan bagaimana framing media yang tidak berimbang dapat menciptakan bias persepsi, menimbulkan kesalahpahaman, dan bahkan memicu ujaran kebencian di ruang publik digital. Media idealnya berfungsi sebagai penyampai informasi yang objektif, edukatif, dan mencerdaskan, bukan sebagai alat pembentuk opini yang memperkeruh suasana sosial. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, media seharusnya menjadi sarana penyebaran nilai-nilai kebenaran dan kemaslahatan umat, bukan menjadi sumber polarisasi dan disinformasi. Dengan demikian, etika jurnalistik dan tanggung jawab moral menjadi fondasi utama dalam setiap praktik komunikasi massa. Media harus mampu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan kewajiban sosial untuk menjaga harmoni publik. Jika hal ini dijaga, maka media dapat kembali pada perannya sebagai agen pencerahan, penguat persatuan, dan penjaga nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat modern yang semakin kompleks. REFERENSI Anggraini, C., & Mihardja, E. J. (2025). Komunikasi Interpersonal. Warta ISKI, 8(1), 83-91. https://doi.org/10.25008/wartaiski.v8i1.342 Ariestyani, K., & Ramadhanty, A. (2022). Khalayak Media Sosial: Analisis Resepsi Stuart Hall Pada Kesehatan Seksual Orang Muda. Konvergensi : jurnal ilmiah ilmu komunikasi, 3(2), 266-277. https://doi.org/10.51353/kvg.v3i2.704 Braun & Cklarke. (2022). Penggunaan Analisis Konten Dan Analisis Tematik. Penggunaan Analisis Konten dan Analisis Tematik Forum Ilmiah, 19, 68. www.researchgate.net Helmy, M., & Ayuni, R. D. (2019). Komunikasi Dakwah Digital : Menyampaikan Konten Islami Lewat Media Sosial Line ( Studi Deskriptif Pada Akun Line 3Safa ). Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 2(1), 23-29. Irfan H. Arif, Asmin Lukman, Z. I. I. T. (2021). Analisis Framing. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan https://jurnal.unibrah.ac.id/index.php/JIWP, 7(1), h.586. https://doi.org/10.5281/zenodo.6504844 Maulidah, N. H. (2024). Komunikasi Non Verbal dalam Animasi Tekotok dalam Episode Bapak Atitude Nol. Komunika : Jurnal Ilmiah Komunikasi, 2(2), 31-38. https://doi.org/10.70437/komunika.v2i2.877 Maulidah, N. H. (2025). Analysis of Audience Reception of Habib Ja'far's Dawah on the Login Close The Door Event. Al Nahyan : Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 2(1), 48-61. https://e-journal.staimaswonogiri.ac.id/index.php/al_nahyan/article/view/222 Mokodompit, N. F. (2022). Konsep Dakwah Islamiyah. Ahsan: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 1(2), 112-123. Ratomi, A. (2013). PENYELESAIAN ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT (Penghindaran Labeling Terhadap Anak). De Jure: Jurnal Hukum dan Syar'iah, 5(2), 134-145. https://doi.org/10.18860/j-fsh.v5i2.3004 Sangadji Mamang Etta, S. (2010). Metodelogi Penelitian. ANDI. Wijaya, I. K. (2017). Proses Komunikasi Interpersonal Bawahan Tuna Rungu-Wicara dengan Atasannya ( Supervisor ) di Gunawangsa Hotel Manyar Pendahuluan. Jurnal E-Komunikasi, 5(1), 1-12. http://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/6143/5640 COMUNICA Penulis ¦ Judul COMMUNICA Penulis ¦ Judul 2| | 3 COMUNICA: JOURNAL OF ISLAMIC MEDIA AND COMMUNICATION STUDIES Vol. 01 No. 01 Juni 2025 | Hal. 01-14 e-ISSN/p- ISSN : XXXX-XXXX/XXXX-XXXX https://ejournal.stidkinu.ac.id/index.php/COMMUNICA